Kata dukun kerap diidentikkan dengan aktivitas paranormal yang berkaitan dengan hal-hal mistis dan cenderung berkonotasi negatif.Namun dalam kehidupan masyarakat Pulau Belitung, ada sebutan dukun kampong atau dukun kampung, yang erat kaitannya dalam menjaga tradisi adat istiadat.Budayawan Belitung, Fithrorozi menuturkan, dulunya dukun kampong identik dengan jabatan sebagai kepala kampung. Tapi seiring perkembangan zaman, jabatan informal ini kurang diperhatikan sehingga kalah dengan kedudukan kepala desa atau lurah.
“Ketika zaman berubah, dukun lebih banyak diinformasikan sebagai sosok magis paranormal. Padahal sebutan atau julukan dukun merujuk pada jabatan kepemimpinan yang lumrah dalam kebudayaan Belitung dan mungkin dalam banyak budaya lama di Indonesia. Namun sayangnya, banyak sebutan yang hilang atau mengalami pergeseran makna,” tuturnya, Selasa (19/12/2023).Menurutnya, julukan dukun sebenarnya diberikan kepada orang yang punya keahlian, keilmuan, dan pengetahuan.
Praktik-praktik yang dilakukan pun berbeda dengan praktik budaya masa kini, sehingga terjadi kesenjangan pengetahuan dan praktik yang dilakukan dukun dianggap klenik.Padahal, lanjut Fithrorozi, hal tersebut lantaran ketidakmampuan diri kita dalam menganalisis hakikat ilmunya.Di satu kampung atau desa memiliki satu dukun kampong. Peran dukun kampong di antaranya mengatur tata perwilayahan antara orang kasar (manusia) dan orang halus.Hal ini untuk menjaga keselarasan antara makhluk-makhluk yang hidup. Makanya, ada syarat bagi seorang dukun kampong untuk tidak meninggalkan kampung.
Selain itu, dukun kampong juga biasanya memimpin prosesi atau acara adat istiadat, seperti maras taun dan nirok nanggok. “Juga harus siap melayani masyarakat, harus siap bangun dini hari jika dibutuhkan. Jadi dengan ilmu yang dimiliki, ada tanggung jawab. Banyak rintangan yang harus dilewati, namun itulah yang kemudian menjadikan dukun kampong ini sebagai posisi yang terhormat,” ujar dia. Ilmu dukun kampong berkaitan dengan pengamatan pada fenomena. Biasanya, jabatan dukun kampong diwariskan kepada anak sebagai penerus.Namun tidak semua anak dukun kampong mewarisi ilmu karena berkaitan dengan kemampuan mengamati fenomena.
Di tengah hilangnya sejumlah istilah kepemimpinan seperti depati dan demang, jabatan dukun tetap ada dan lestari dalam budaya masyarakat Belitung. vFithrorozi mengatakan, hal ini karena adanya dukungan dalam kelompok masyarakat. “Orang yang tidak didukung masyarakat hilang dengan sendirinya. Sementara dukun kampong ini tetap ada dan tidak bisa digantikan dengan sebutan tokoh adat, karena hal yang digeneralisir akan menghilangkan yang bersifat spesifik dan kekhasan,” jelasnya.
Tulisan ini dikutip dari belitung.tribunnews.com (Penulis: Adelina Nurmalitasari | Editor: Novita)